"Gagal UMPTN, Masuk Harvard"
Tahun 1996, saya gagal di UMPTN saya yang pertama. Hari ini, saya duduk
di bangku Harvard University. Seorang teman bertanya lewat emailnya
tentang cerita saya itu, berikut jawaban saya:
Juan,saya anak bungsu dari enam bersaudara. Ayah saya cuma pegawai negeri, Ibu saya penjahit. Kami hidup pas2an tapi Ayah saya mengharuskan kami semua untuk punya gelar sarjana dan, karena tidak ada uang, harus masuk PT negeri. Ayah saya selalu bilang kalau kami gagal, gantinya cuma sepasang kambing. Jadi, semua kakak saya belajar mati-matian buat masuk PTN. Tidak ada bimbel-bimbelan. Tidak ada uang buat itu. Oya, karena Ayah saya lulusan ITB, Ayah saya juga selalu menantang anak-anaknya untuk masuk ITB. Sayangnya, semua kakak saya tidak ada yang masuk ITB, ada yang gagal di pilihan pertamanya, sebagian lagi tidak berminat sama sekali. Nah, di antara semua anak-anaknya, saya bisa dibilang yang paling cemerlang. Saya selalu masuk SMP dan SMA paling favorit di kota saya tinggal. Saya jadi tumpuan harapan Ayah saya, dan saya sendiri, untuk masuk ITB. Yah, mungkin saya kurang berusaha, mungkin kurang pandai. Waktu UMPTN, saya gagal.
Saya kecewa berat. Saya tahu orang tua saya juga kecewa berat. Lebih-lebih lagi, saya takut sekali kalau masa depan saya cuma jadi peternak kambing. Haha. Tidak ada harapan lah buat masuk PT swasta. Ayah saya tidak akan korupsi buat menyekolahkan anak-anaknya. Yah, tapi kita tahu lah, orang tua kan gak akan kejam seperti itu. Mereka cuma ingin anak-anaknya berhasil, dan (akhirnya) saya tahu kalau ayah saya tidak ingin ada anaknya yang jadi peternak kambing. Akhirnya saya mendaftar dan diterima ke politeknik. Buat banyak orang, itu sudah bagus. Buat saya, itu masih tidak bisa diterima. Tapi saya toh sudah kadung gagal, jadi saya pasrah saja. Sementara. Lalu saya mulai membaca-baca tentang orang-orang sukses. Bill Gates adalah favorit saya. Saya melihat ada kesamaan di antara mereka. Mereka orang-orang cemerlang yang tidak terkungkung oleh sekolah. Bill Gates tidak punya gelar sarjana. Saya jadi berpikir, gelar sarjana bukan tujuan, itu hanya jalan. Yang penting adalah self-determination. Self-determination.
Saya jadi berpikir kalau di mana saya berada, itulah jalan saya. Mungkin saya kemarin gagal. Tapi saya tidak boleh gagal lagi. Jadi ya saya belajar sungguh-sungguh. Siapa yang tahu di mana ujung jalan yang satu ini kan? Walaupun di poltek pun saya hampir kena DO gara-gara bolos seminggu. Hehe. Untungnya IPK saya 3.9. Kajur saya jadi gak tega buat mengeluarkan surat DO. Sebagai gantinya saya harus bersih-bersih di lab selama satu minggu penuh, PLUS wejangan setengah jam full. Kebetulan, karena saya ambil teknik sipil, mata-mata pelajaran di UMPTN seperti matematika dan fisika diajarkan lagi, selain Pancasila dan Bahasa Inggris. Jadi, tahun berikutnya saya coba lagi UMPTN. Siapa tahu masih bisa memenuhi harapan orang tua untuk masuk ITB. Tapi saya gak terlalu peduli. Saya sedang menjalani jalan saya, saya sedang mencari tahu di mana ujung jalan yang satu ini. Saya benar-benar tidak peduli lulus UMPTN atau tidak sampai-sampai saya tidak tertarik buat membeli koran pengumuman UMPTN. Waktu teman saya telpon, dia bilang "Panji, selamat ya diterima UMPTN!". Saya bilang "Oya? Keterima di mana ya?" Haha.
Ternyata saya diterima di pilhan kedua. Bukan ITB, tapi kedokteran. Ya sudahlah, kan orang tua ingin semua anaknya punya gelar sarjana, bukan D3. Lagipula FK lebih bergengsi dari poltek. Jadi saya pindah ke FK. Saya bahkan tidak tahu kalau kampusnya sudah pindah ke luar kota. Duh! Saya sebenarnya tidak terlalu excited masuk ke FK. Saya gak pernah ingin jadi dokter. Tapi lagi-lagi saya berpikir, ini pasti jalan lain. Mungkin ujungnya lebih baik dari yang kemarin. Jadi saya berbelok.
Di FK, saya mulai berpikir kalau belajar bukan satu-satunya cara untuk mencapai kesuksesan. Saya mulai aktif ikut organisasi mahasiswa. Saya malah lebih aktif di Sema daripada di ruang kelas. Pernah satu semester IP saya anjlok sampai 2.5. Tapi anehnya kok orang tua saya tidak terlalu peduli ya. Mungkin karena saya sudah masuk FK. Yah, tapi saya sadar kalau IPK juga penting. Saya berjuang lagi, paling tidak supaya kepala saya ada di atas air. IPK saya minimal harus 3.0. Saya terus belajar dan bermain (di organisasi). Akhirnya, dari berbagai kegiatan kemahasiswaan yang pernah saya ikuti saya menemukan minat saya di kesehatan masyarakat dan penelitian. Kakak saya (yang sudah jadi dokter) bilang, "Ngapain di Kesmas, miskin" . Saya pikir, toh saya memang tidak pernah ingin jadi dokter. Jalan terus…Self-determination.
Di rotasi terakhir saya, di bagian THT, saya lihat beasiswa Ausaid sedang membuka aplikasi. Saya coba lamar. Waktu saya mengisi formulir, saya jadi sadar kalau saya banyak sekali kekurangan. Tapi sekedar coba-coba apa ruginya. Lalu untuk surat rekomendasi, karena saya tidak tahu harus ke mana, saya pergi ke tetangga saya. Profesor di FK yang juga pernah jadi dokter saya waktu saya masih bayi. Konyol memang. Beliau bilang, "Waduh, saya kan sudah gak tau kamu seperti apa sekarang. Dulu kamu cuma jadi pasien saya waktu kamu masih bayi." Haha. Geli sendiri saya. Walaupun akhirnya beliau setuju kalau namanya boleh "dicatut" untuk rekomendasi. Waktu saya di ruangan beliau, ternyata anaknya, yang juga dosen di FK, ada di sana. Waktu saya mahasiswa, saya pernah ikut jadi surveyor di penelitian beliau. Melihat saya ada di sana, beliau bertanya "Kamu sudah lulus? Masih tertarik penelitian?". Saya jawab "Belum lulus. Tapi, ya, masih tertarik.". Ternyata di penelitiannya akan ada lowongan kira-kira persis setelah saya selesai dua minggu kemudian. Belum diwisuda, saya langsung dapat posisi dokter di penelitian tersebut. Ujung jalan ini mulai terlihat, saya pikir.
Alas, ternyata penelitiannya sudah akan selesai. Di bulan kedua, peneliti-peneliti dari kantor pusat di Jakarta datang untuk pengambilan data terakhir. Melihat saya antusias di penelitian, salah seorang supervisor dari Jakarta menawarkan posisi yang akan lowong di Jakarta untuk penelitian yang akan datang. Lagi-lagi saya dapat pekerjaan sebelum lowongan dibuka. Jalannya semakin jelas saja, saya pikir.
Akhirnya saya kerja di Jakarta. Tidak seperti teman-teman dokter baru yang harus jaga malam di berbagai klinik, saya kerja kantoran. Saya menikmati pekerjaan saya. Sangat menikmati. Gaji saya 4 juta per bulan, plus asuransi kesehatan swasta dan jatah cuti. Kalau ada dinas ke luar kota, per diem-nya bisa lebih besar dari gaji ayah saya. Sampai akhirnya di akhir tahun 2006, saya ditelpon oleh seorang teman saya. Teman baik. Katanya, ibunya, yang seorang dosen Kesmas di FK, akan pensiun. Beliau menawarkan posisi yang kosong itu ke saya. Saya sebenarnya paling tidak suka KKN seperti itu, tapi selama bukan saya yang kasak-kusuk, saya pikir gapapa lah. Lagipula saya ingin sekali jadi dosen, dan naga-naganya kalau saya tidak ambil kesempatan ini, orang lain yang mengambil akan via KKN juga. Lagipula, saya pikir saya cukup berbakat jadi dosen. :)
Akhirnya tawaran itu saya terima. Ayah saya pikir saya sudah gila. Selama karirnya sebagai pegawai negeri (yang jujur), Ayah saya belum pernah punya gaji 4 juta per bulan, plus fasilitas-fasilitas lain. Entah mana yang lebih membuat Ayah saya kecewa, saya tidak lulus UMPTN atau saya jadi PNS. Tapi lagi-lagi saya pikir, ini ada pintu terbuka. Siapa tahu ujung jalan di balik pintu ini lebih baik. Walaupun awalnya pasti sangat penuh penderitaan. Bayangkan, saya ditawari kontrak dengan gaji 500 ribu per bulan (saran saya, kalau mau KKN cari yang tawaran gajinya lebih besar). Saya terima. Self-determination.
Januari 2007, saya mulai bekerja sebagai dosen kontrak. Untungnya supervisor saya di Jakarta baik hati. Beliau masih memberi saya posisi di penelitian. Setidaknya saya jadi bisa bekerja tanpa mengeluhkan gaji kontrak saya yang 500 ribu per bulan itu. Belum lama saya bekerja, mungkin bulan April, saya tidak sengaja melihat beasiswa Fulbright sedang membuka aplikasi. Lalu saya coba2 lamar. Berbeda dengan waktu saya melamar Ausaid dua tahun sebelumnya, kali ini saya punya sedikit `modal'. Saya lamar untuk mengambil S2 di bidang public health.
Eh, ternyata bulan Agustus (kalau tidak salah) saya dapat panggilan wawancara Fulbright. Sialnya, sebelum saya dapat panggilan tersebut, saya sudah komitmen untuk ikut prajab CPNS (kalau saya tahu sebelumnya, saya bisa pindah grup yang selang seminggu). Saya coba untuk pindah jadwal. Entah memang tidak bisa, entah karena saya tidak bawa amplop, saya tidak bisa pindah jadwal. Kepala bagian saya sangat mendorong saya untuk ikut prajab (dan meninggalkan wawancara). Teman-teman yang lain ada yang seperti itu, ada juga yang menyarankan saya wawancara saja. Akhirnya, tanpa restu kepala bagian, saya ikut wawancara. Saya pikir, prajab akan ada lagi. Wawancara? Kalau sekarang saya tidak datang, tidak akan ada kesempatan kedua. Kalau saya coba, saya mungkin gagal. Kalau saya tidak coba, saya pasti gagal. Self-determination.
Saya diterima! Tapi saya tidak sepenuhnya gembira. Saya baru tahu kalau beasiswa pun ada plafonnya. Dan plafon beasiswa Fulbright ada di bawah cost universitas ngetop seperti Harvard atau Princeton. Sial. Ya sudah lah, saya serahkan keputusan tentang pilihan universitas ke penyelenggara beasiswa, IIE. Akhirnya saya masuk ke sebuah program yang baru berusia 4 tahun. Duh! Saya pikir ini bisa jadi percuma. Tapi saya jalani saja. Ini ada pintu terbuka, siapa tahu jalan yang ini ujungnya lebih baik. Sejelek-jeleknya, saya bisa pergi ke Amerika.
Ternyata di sini saya bertemu orang2 hebat. Ada mantan pejabat World Health Organization, ada mantan pejabat US-Center for Disease Control, dan dengan jumlah mahasiswa yang tidak banyak, semua orang saling kenal. Kalau ada potensi, semua orang tahu, demikian juga sebaliknya sih, kalau ada cacat, semua juga pasti tahu. Walaupun programnya mediocre at best, saya coba belajar sebaik-baiknya, dan nampaknya saya dianggap cukup berpotensi oleh profesor-profesor saya.
Nah, mumpung saya ada di Amerika, dengan stipend dalam mata uang dolar, ada profesor bule di sekitar saya, dan kepala bagian saya (yang baru) merestui, saya pikir sekalian saja saya coba lamar S3. Oya, saya lupa bilang, saya pernah "taruhan", mungkin "balapan" lebih tepat, dengan salah satu supervisor saya untuk `pacepet-cepet' dapat email dengan embel-embel @harvard dot edu. Jadi saya lamar untuk program S3 ke Harvard, Emory dan Johns Hopkins. Buat aplikasi saja saya habis mungkin $300 lebih. Sekali lagi mumpung ada di dollar, kalau saya sudah pulang ke Indonesia, gaji PNS saya tidak cukup buat biaya melamarnya saja. Paling tidak saya sudah coba, begitu saya pikir.
Waduh, ternyata saya diterima di Harvard. Jujur saja, saya masih kurang yakin kalau saya memang semampu itu. Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan salah seorang profesor saya yang juga pemberi rekomendasi waktu saya melamar ke Harvard. Beliau bercerita kalau beliau baru saja bertemu dengan seorang temannya yang sekarang profesor di Harvard dan juga anggota komisi penerimaan mahasiswa baru. Menurut beliau, temannya tersebut langsung memberi "high consideration" kepada saya karena surat rekomendasi dari beliau. Wow, mediocre at best? You'll never know what you'll get unless you give it a try.
Saya senang sekali. Tapi lagi2 tidak sepenuhnya senang. Waktu saya dapat pengumuman diterima, Office of Student Financial Services (OSFS) bilang tidak ada bantuan dana. Uh-oh. Saya perlu $55,000 setahun! Lalu saya email ke mereka kalau saya memerlukan bantuan dana. Tidak lama berselang, saya dapat kabar kalau saya dapat Presidential Scholarship yang meng-cover tuition ($34,000 per tahun). Walaupun masih kurang $21,000, menurut OSFS tidak akan ada lagi bantuan untuk saya. Lalu saya email ke depertemen yang menerima saya, kalau2 mereka punya assistanship. Ternyata menurut mereka, assisstanship tidak diberikan kepada mahasiswa tahun pertama. Sampai tenggat keputusan, saya belum dapat funding tambahan. Saya telpon ke OSFS, tidak ada. Ke departemen, tidak ada. Saya lalu ditanya "Kalau tidak ada funding tambahan, Anda tetap akan datang kan?" Saya ragu. Lalu saya jawab "Ya!". Saya sudah diterima, tidak ada alasan, apa pun, untuk tidak pergi. Self-determination. I'll go no matter what it takes.
Akhirnya saya dapat perpanjangan waktu untuk memberi jawaban saya. Lumayan buat memutar otak cari-cari dana. Saya pikir, masuk PT swasta di Indonesia saja tidak mampu, bagaimana bisa bayar kuliah di Harvard? Keesokan harinya, saya dapat email tentang pre-approved international student loan untuk orang-orang yang dapat admission ke Harvard. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup dengan hutang ratusan juta. Hanya untuk sekolah! Saya cari info ke sana ke mari. Tidak sulit cari info untuk yang satu ini, hampir semua orang Amerika yang sekolah di universitas membiayai sekolahnya dari student loan. Jawaban yang saya terima cuma satu, "Panji, I don't mind adding more debts to go to Harvard.". OK. Saya sudah bulat. Saya akan berhutang untuk pergi ke Harvard. Walaupun saya akan tunggu sampai detik terakhir untuk mengambil hutang tersebut. Eh, siapa sangka, keesokan harinya saya dapat kabar kalau Harvard bisa memberikan full funding, $55,000, untuk saya. Alhamdulillah.
Wah, ini panjang sekali ya. Moga2 tidak membosankan. Sebenarnya saya pikir ini bukan waktu yang tepat buat berbagi `cerita sukses'. Perjalanan saya belum juga dimulai. Tapi tak apalah. Saya pikir ini waktu yang tepat buat berhenti sejenak dan berkaca tentang perjalanan yang sudah saya tempuh sampai sejauh ini. Tidak mudah memang. Tapi setiap saya ingat tentang self-determination, saya ada di sini karena saya ingin berada di sini, rasanya saya bisa menjalani semua dengan ringan. Tidak terlalu berat lah setidaknya. Dan seperti kata orang, semakin tinggi pohonnya, semakin kencang anginnya. Tapi tidak masalah kalau kita harus jatuh 1000 kali, asal kita bisa bangun 1001 kali. God help me...
Panji
NB: Waktu saya diterima oleh Harvard, saya cuma berharap ini bisa jadi kado pengganti ITB buat ayah saya. Saya harap cerita ini bisa menggugah semangat teman-teman yang sedang mencari kesempatan meraih pendidikan lebih lanjut. KITA BISA!
Hampir satu semester saya lalui di sini, ternyata perjuangannya cukup berat. Mohon doa dari pembaca yang budiman…
SUMBER:
http://edukasi.kompasiana.com/
Saya do'akan supaya kalian semua mendapat nasib yang lebih baik ya..
Semoga bermanfaat ^_^
7 komentar:
Sangat mengispirasi, terimakasih sekali kak. . .
Makasih kak, sangat inspiratif
Tulisanmu sangat menginspirasi :)
Sedang menunggu kelanjutannya..
Wah keren! masih di Boston bang?
Mantapppz...! Ditunggu kelanjutan kisahnya.. 😊
Sukses terus.. 🤝
Online Casino | No Deposit Bonus 2021 - Kardangpintar
Kami Poker Online | Free Slot machines The casino is licensed and regulated in Malta 온카지노 by the UK Gambling Commission. No 메리트 카지노 고객센터 deposit bonus is 바카라
Posting Komentar